Sabtu, Mei 24, 2008

Konsistenkah kita mendukung mereka yang terzalimi?

Assalaamu'alaykum.. Dear Frens, ih, hati ini miris juga loh kalo melihat kekejaman Zionis Israel terhadap Palestina. Dalam hal ini, terhadap ana-anak tak berdosa. Fren, sudikah Anda untuk konsisten mendukung mereka yang dizalimi, dengan memboikot brand yang mendukung zionis? Teman-teman bisa lihat merek apa saja itu di situs http://www.inminds.co.uk/boycott-brands.html Lihat home-nya, terdapat foto-foto dan artikel kekejaman Israel. Konsistenkah kita mendukung Palestina, ketika softdrink kita masih Coca Cola? Ketika, kita belanja kebutuhan sehari-hari di Carrefour? Parfum kita masih CK (Calvin Klein)? Kacamata kita masih DKNY (Donna Karen New York)? Astaghfirulloohal 'adziim..
Wassalaamu'alaikum
Edy Hafidl, Jakarta-Surabaya-Bandung

Senin, Mei 19, 2008

Senyum di Senja Hari (Siap2 tissue..)

Beranda
Rubrik : Pernik

Publikasi : 29-06-2004 @ 18:06

Senyum di Senja Hari

KotaSantri.com : April 1984

Menjelang Ujian Akhir SMP. Gempa hebat melanda keluargaku, dan telah memporakporandakan bangunan hatiku. Allahu Robbi, kenapa Bapak tega melakukan semua ini? Tak tega melihat ibu yang diam mematung dengan air mata berlelehan. Sementara Pak Jono, Pak Dodi, teman sekantor Bapak menjelaskan dengan bahasa yang dibuat sehalus mungkin. Aku mengintip takut-takut dari lubang kunci, raut wajah Ibu yang tiba-tiba menegang, lalu air mata yang tumpah bak banjir bandang.

Bapak dipecat, karena menyelewengkan dana kantor dan terbukti melakukan tindakan asusila dengan rekan wanitanya di kantor. Bahkan, wanita itu telah diberinya rumah di Kecamatan Pare, tiga puluh kilometer dari rumah kami. Bapak dipenjara atas tuduhan korupsi dan berselingkuh dengan istri orang.

Aku tahu, bukan sekali ini saja Bapak mengkhianati Ibu. Sebagai anak tertua aku sudah bisa membaca hubungan kedua orang tuaku. Namun baru kali ini kulihat Ibu begitu terpukul. Tentu, dengan dipecatnya Bapak, berarti asap tak akan mengepul lagi di tungku keluarga kami. Sementara lima orang anak perempuan setiap hari membutuhkan jatah nasi yang tidak sedikit. Melihat Ibu bermuram durja, semangat belajarku hilang seketika.

***

Mei 1984

Ujian Akhir, 03.00 Pagi. Suara lantunan ayat-ayat suci membangunkanku dari lelap. Ibu! Begitu biasanya beliau membangunkan kami untuk shalat lail. Segera kutepuk Tini untuk menyusul Ibu. Mata adikku masih memerah menahan kantuk. Tapi kusemangati dia, "Ayo, katanya ingin berdoa, Tini ingin minta apa?" Malam begini dingin menyambut kami di kamar mandi.

Air terasa seperti butiran es. Kuusap mataku dan mata Tini sambil tersenyum, sekejap kemudian kesegaran mengaliri seluruh tubuh. Lenyap sudah kantuk yang memberati mata.

Ibu menyambut kami dengan senyum, tapi…. Matanya begitu sembab, pasti Ibu habis menangis. "Mana adik-adikmu yang lain, Nduk?" kami saling berpandangan, lalu menggeleng dan tersenyum malu. Habis, sulit sekali membangunkan Lastri dan Tinah, bisa ditendang aku nanti, maklum, mereka masih kecil. Usai tahajud, aku terus mengambil buku dan belajar. Ibu menemani sambil meneruskan tadarus Al-Qur'an nya. Ibu…

Bagaimana orang sealim Ibu bisa mendapatkan orang seperti Bapak. Ah, ngelantur aku ini, kalau tidak ada Bapak, berarti aku juga tidak ada.

***

Akhir Mei 1984

Akhirnya, selesai sudah ujian akhirku. Alhamdulillah leganya. Setidaknya aku mulai bisa memikirkan yang lain untuk membantu mengurangi beban Ibu. Yah, mau bagaimana lagi, Ibu memutuskan menjual sebagian tanah warisannya untuk menebus Bapak dari penjara. "Bagaimana pun dia bapakmu, Wuk, sejahat dan sebejat apa pun kelakuannya, darahnyalah yang mengalir di tubuhmu." Aku juga tak tahu musti harus bagaimana. Rasanya kaget tiba-tiba ikut terlibat dalam permasalahan rumit ini. Tapi Ibu butuh teman bicara. Dan aku, anak sulungnyalah yang bisa melakukan itu. Ya, mesti cuman sebatas mendengarkan. Menanti Bapak pulang seperti menunggu datangnya makhluk asing dari planet lain. Ada rindu, ada benci, ada juga rasa asing yang tak bisa kumengerti. Entahlah, dari dulu kami memang tak bisa dekat. Bapak menginginkan anak laki-laki, sementara kelima anaknya perempuan. Barangkali itulah yang membuat sulit sekali diajak bermanja.

Suatu sore, saat matahari senja merah saga memenuhi langit, Bapak benar-benar pulang. Sosoknya yang tinggi besar memenuhi pintu rumah. Dan Ibu menyambutnya seperti biasa, dengan mencium tangan Bapak, dan menyuruh kami melakukan hal yang sama. Tanpa beban, seolah tak terjadi apa pun yang pernah mengguncang keluarga kami. Kucari dendam di mata Ibu, tapi ya Rabbi, mata itu begitu ikhlas dan tabah. Sementara hatiku sudah mulai tertorehi luka.

***

Agustus 1984

Perekonomian keluarga kami benar-benar terpuruk. Aku tak bisa melanjutkan kuliah. Jangankan untuk mendaftar SMA, untuk makan sehari-hari pun mulai kesulitan. Bapak berpamitan untuk mencari kerja di Bogor. Memang di kota kecil seperti Kediri, mencari pekerjaan baru bukanlah hal mudah, apalagi untuk orang yang namanya sudah cacat seperti Bapak. Ibu mengambil alih perekonomian dengan membuka warung pecel di depan rumah. Pagi buta sampai siang, Ibu mengurus warung pecelnya. Sore hingga malam membuat krecek, makanan ringan dari irisan singkong kering yang digoreng dan dibumbuhi gula merah serta cabai.

Aku membantu Ibu sekuatnya. Aku punya kewajiban moral untuk membantunya, kalau bukan aku, siapa lagi? Bangun pukul empat pagi kini tak terasa dingin lagi. Sepagi itu aku dan Ibu mulai ke pasar. Tiba di rumah, kami berbagi tugas. Aku mencuci baju, Tini membersihkan rumah. Setelah beres, kami membantu Ibu menyaingi sayuran. Ketika adik-adikku berangkat sekolah aku mulai menyiapkan potongan-potongan singkong untuk digoreng. Bila malam tiba, sambil mengajari mereka, aku dan Ibu membungkus krecek ke dalam plastik agar esok pagi bisa kuedarkan ke warung-warung dan pasar Kandat.

Ya Allah, Pengatur nasib umat, aku sangat bangga pada Ibu. Di tengah himpitan ini beliau masih terus berkhusnudzan kepada-Mu, terus mengajari kami bersabar, dan terus membimbing kami dengan cintanya.

Ya Allah, berikanlah segala kebaikan-Mu untuk Ibu dan kami sekeluarga. Dan berilah kesadaran untuk Bapak, ya Allah, bahwa kami adalah putri-putri yang juga mengharap cintanya. Aamiin.

***

Agustus 1986

Bapak datang. Datang! Setelah sekian lama tanpa kabar dan kiriman apa pun. Datang dengan sederet tuntutan dan lecehan pada Ibu. Tuntutan atas kehadiran anak laki-laki yang tak mampu dilahirkan Ibu. Dan satu pelecehan lagi yang membuat darahku berpacu ke ubun-ubun, beliau mengaku sudah menikah di Bogor dan mempunyai seorang anak laki-laki. Tuntutan untuk menjual sisa tanah, dengan alasan anak laki-laki lebih berhak memperoleh daripada kami. Semua dikatakan Bapak saat kami kesulitan untuk sekedar mengisi perut.

Entah keberanian apa yang membuatku lancang kepada Bapak. Kupukul dan kucakar lelaki yang kusebut bapak itu sehingga sebuah tamparan keras mendarat di pipiku. Ibu yang tersimpuh di atas tubuhku dengan isak pelan, dan umpatan kasar Bapak, "Perempuan sialan, perempuan pincang! Seperti ini kau didik anakmu? Huh, dari dulu aku memang malu punya istri seperti kamu, dasar pincang!"

Kali ini giliran Ibu yang mendapat tamparan Bapak. Sakit… Sakit hatiku mendengar Ibu diumpat seperti itu.

Kaki Ibu memang tidak normal, terserang polio sedari kecil. Tapi bukan berarti ia tidak sempurna mendidik kami. Sungguh ia satu-satunya wanita yang membetot habis rasa cinta dan hormatku lebih dari apa pun. Satu lagi luka tertoreh. Kupandang Bapak dengan mata menyala. Biar… Biarlah Bu, Bapak mengambil tanah itu. Kita buktikan bahwa kita bisa hidup tanpa bantuannya bila itu yang Bapak mau. Aku berjanji, aku bertekad, akan kulakukan apa pun untuk Ibu dan adik-adikku.

***

Januari 1990

Rumah Makan Padang "Siang Malam", Gringsing, Kendal. Aku membawa truk bermuatan kelapa memasuki pelataran rumah makan. Sisa setengah perjalanan lagi menuju Jakarta. Ahmad dan Pak Gono membuka mata. Dengan sopan aku menyilahkan mereka untuk beristirahat. Sementara aku harus berburu waktu mencari mushalla, shalat Isya'.

Celana hitam, jaket gombrang coklat, dan jilbab kaos hitam telah menyulapku menjadi sosok yang cukup dikenal di rumah makan ini. Pemiliknya Pak Haji Yassin juga kenal denganku. Karena itu aku memilih tempat ini sebagai tempat istrirahat bila nyopir ke arah barat. Selain lingkungannya apik, baik, juga ada mushalla yang nyaman tempat aku istirahat sejenak. Sesekali bahkan Bu Haji menyuruhku istirahat di ruang belakang mereka. Sementara aku istirahat, Ahmad biasa mencuci kaca depan truk, mengisi air radiator, mengecek mesin, dan ban, serta tak lupa menyiapkan sebotol kecil kopi hangat di samping jok untuk persiapan nanti.

Truk ini milik Pak Jono, teman Bapak. Aku yang dipercaya mengelolanya dengan sistem sewa. Dulu, hampir tiap hari aku keluar masuk desa untuk menawarkan jasa transportasi ini. Kini tinggal memetik hasilnya. Para petani dan pedaganglah yang datang apabila membutuhkan truk sekaligus sopirnya. Aku tak pernah bercita-cita menjadi seorang sopir. Tidak, tidak karena itu dunia laki-laki yang keras dan penuh bahaya. Tapi aku tak punya pilihan lain. Hanya pekerjaan ini yang bisa menghasilkan uang paling banyak. Sekali nyopir aku bisa mengantongi uang lima puluh ribu sampai seratus ribu. Bahkan bila musim panen, aku bisa memegang hingga satu juta rupiah sebulan. Alhamdulillah. Karena selain menyopir, aku juga memasok beberapa komoditi pasar seperti kelapa, pisang, semangka ke beberapa kota sekeliling Kediri. Tentu, dengan bagi hasil dengan Pak Jono.
Ibu terus berjualan pecel dan membuat krecek. Kini hanya dibantu Sundari karena Sutini dan Sulastri sudah kuliah di Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya. Sedang Partinah memilih ke Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Bahagia rasanya melihat mereka terus sekolah, lebih bahagia karena mereka tak pernah mengecewakan lelehan keringatku. Mereka belajar keras, bahkan sangat keras untuk membahagiakan Ibu dan kakaknya yang sopir truk ini.

Sekali waktu, Tini pernah marah padaku, ia minta diijinkan bekerja untuk ikut membantu ekonomi keluarga. Tapi adikku itu mengkeret begitu melihatku memandang tajam ke arahnya. Adikku… Maafkan Mbak Tiwuk. Biar Mbak Tiwuk saja yang berkorban, satu saja! Kalian semua jadilah manusia yang berhasil. Dengan lulus UMPTN, dengan kuliah yang benar, dengan cepat lulus, itu sudah cukup membantu Mbak Tiwuk. Sudah membuat Mbak bahagia. Jangan pikirkan yang lain. Doa Mbak untuk kalian semua.

***

Juli 1993

Rumah Makan "Ayem Tentrem", Pelabuhan Ketapang. Sudah larut malam ketika aku beristirahat, menunggu kapal yang akan berangkat ke Pulau Bali. Ini rute pertamaku. Agak gamang juga. Tapi Ahmad, kenekku meyakinkan bahwa ia pernah ke Denpasar sebelumnya, jadi aku tak perlu khawatir tersesat.
Deretan truk terparkir dalam keremangan pelabuhan. Aku turun, mencari mushalla dan tempat nyaman untuk menyantap rantang makanan bekal dari Ibu.

Menjelang pukul dua, kudengar keributan di sekitar trukku. Ahmad berteriak-teriak, aku tertegun. Segerombolan preman tengah merubungnya. Tukang palak rupanya. Sementara Pak Sabar, pemilik kayu gelondongan yang kuangkut tergigil pucat pasi di sisi truk. Pemalakan tidak tanggung-tanggung karena kami orang baru, diharuskan membayar biaya keamanan sebesar seratus ribu. Sejenak mereka melongo begitu tahu sopirnya wanita. Tapi tak pernah kugunakan sebutan itu untuk bersikap lemah, terlebih ini menyangkut hak untuk mencari penghidupan halal, hak asasi setiap umat untuk meneruskan hidupnya.

Setelah gertakan untuk melapor polisi tak ditanggapi, terpaksa kuladeni tantangannya. Ahmad satu tingkat di bawahku di perguruan Perisai Diri. Jadi aku bisa mengandalkannya. Seratus ribu bukan jumlah yang sedikit. Apalagi Sulastri membutuhkan biaya untuk praktikumnya. Perkelahian berjalan tak seimbang, dua lawan tujuh. Kami bertarung sengit, tiga orang berhasil kami buat jatuh, seorang yang bertindak sebagai pemimpinnya berbuat nekad, saat tendangan kaki kiriku kuarahkan ke si brewok, ia menohok dari samping. Cras… Kaki berbalut sepatu kets-ku berlumuran darah. Perih, darah keluar dengan deras. Aku masih bisa menangkis dua, tiga serangan, setelah itu gelap.

Saat sadar aku telah berada dalam salah satu bangsal di RSU Banyuwangi. Menurut dokter, setelah sembuh nanti kemungkinan aku akan mengalami sedikit pincang. Sejumlah memar juga menghiasi leher dan punggung. Rupanya saat aku sudah jatuh mereka masih menendangiku. Untunglah Pak Sabar datang tepat pada waktunya dengan dua orang polisi pelabuhan. Aku bersyukur karena Ahmad dan Pak Sabar tak terluka. Ah, peristiwa pahit. Tapi tak akan melemahkan semangatku untuk terus mencari nafkah, karena lima bulan lagi Sundari lulus SMA.

***

Februari 1995

Kutuntun Ibu ke dalam ruangan penuh spanduk dan karangan bunga. Subhanallah, matahari pagi pucuk-pucuk pinisium ikut tersenyum memandang kami. Hari ini Sutini disumpah menjadi seorang dokter. Map hitam berlogo almamater diserahkan kepada Ibu dan aku sambil menahan tangis. "Ini… Untuk Ibu dan Mbak Tiwuk."

Kupeluk adikku, kuusap keningnya.

"Seandainya setiap kakak di dunia ini seperti Mbak Tiwuk…" ujarnya dengan mata basah.
"Seandainya semua adik di dunia seperti kalian, tidak akan ragu seorang kakak melakukan apa pun."
Kami berpelukan, kurengkuh bahu adikku, Tini yang bulan depan akan mengakhiri masa lajangnya, disunting oleh teman seangkatan, pemuda soleh yang bulan kemarin bersama keluarganya mengkhitbah Tini di rumah kecil kami. Jemputlah masa depanmu Adikku… Mbak Tiwuk ikhlas kau langkahi.

***

Mei 1997

Rumah Makan "Baranangsiang", Bogor. Menyebut kota ini menimbulkan luka lagi yang menganga. Bapak… Pelan kueja namanya. Nama laki-laki yang seharusnya menanggung beban di atas pundakku. Pernikahan Tini kemarin beliau hadir, juga saat Tinah diakadkan. Semanis apa pun wajah kupasangkan, tak bisa membangun jembatan kemesraan anak beranak di antara kami. Hati ini terlanjur sakit. Pada saat kupandang wajah Ibu, masih dengan tulus yang sama menyambut kepulangan Bapak. Alangkah luas telaga maafmu, Ibu. Sementara hanya setitik hormat yang masih kupunya.

Menurut berita yang kudengar, usaha Bapak di Bogor maju pesat, dengan seorang istri dan dua anak laki-laki yang diidamkannya. Syukurlah jika Bapak bahagia. Semoga waktu akan mengurai kebekuan hati ini hingga terbentuk maaf yang tulus untuknya. Karena aku tak mau selamanya jadi anak durhaka. Bukankah Allah telah begitu adil dengan apa yang telah kami terima selama ini? Sungguh aku bersyukur…

***

Mei 2000

Rumah berdinding setengah bata setengah bambu kami terasa bertambah tua, atap dapur bahkan nyaris dorong. Seperti juga kerut pada Ibu, juga wajahnya yang makin mengental. Jika ada kesempatan untuk bernafas, inilah saatnya. Keempat adikku sudah mentas semua. Tinggal Sundari, itu pun sudah hampir mandiri, karena selain menyelesaikan S2, ia juga mengajar di sebuah yayasan.

Kini perhatianku beralih ke Ibu. Ibu yang membesarkan kami dengan kedua tangannya, dengan kakinya yang terseok, yang selalu membentengi kami melalui doa yang rutin dipanjatkan di setiap malam, melalui puasa Senin-Kamis, dengan keprihatinannya, juga dengan sabar dan cintanya.

"Wuk, bisa nggak ya niat Ibu kesampaian. Ibu ingin sekali melihat Baitullah." Satu kata itulah yang menjadi perhatianku kini. Maka, ketika Tini, Tinah, dan Lastri menawarkan diri untuk merenovasi rumah, kalimat itu kuulang pada ketiga adikku. Dengan sisa tabungan dan sumbangan mereka, aku berharap bisa memenuhi permintaan Ibu.

***

Juli 2000

"Dunia begitu indah karena kami memiliki kakak seperti engkau. Terima kasih, Mbak…" Kueja kalimat itu berulang. Sebuah cincin permata berlian menyertai kertas itu. Ah, aku lupa, hari ini aku berulang tahun. Aku memang selalu lupa dan tak pernah memikirkannya. Setitik air membasahi pipi, sudah berapa lama aku tidak menangis? Kucium kertas itu. Adik-adikku, dunia pun sangat indah karena aku memiliki kalian, juga Ibu. Terima kasih ya Alah.

***

Februari 2001

Garuda Indonesia, Boeing 737, Jamaah Haji Kloter 1. Pada Allah semua tujuan hidup bermuara. Tak pernah kubenci dan kusesali hidupku. Karena aku telah memandang semuanya dengan syukur dan karenanya sepahit apa pun kenyataan akan tetap terasa indah. Inna ma'al 'usri yusro, sesungguhnya dibalik kesulitan itu ada kemudahan. Allah akan memberi kemudahan itu pada setiap hambanya yang sabar. Sering aku tak percaya bisa melakukan semua ini, karena tugas itu nyaris usai. Allah Yang Maha Pemurah, telah memberiku kesempatan hidup lebih panjang dari yang divonis dokter. Gadis dengan cacat jantung bawaan seperti aku… Rasanya tak percaya. Allah, jika Engkau ijinkan, berilah hamba waktu lagi minimal untuk bisa berjumpa dengan Bapak, agar kebekuan ini mencair. Untuk sebuah kata maaf yang belum pernah bisa kukeluarkan, karena aku, Tiwuk Hartati, pernah mempunyai doa yang sangat jelek untuknya. Biarlah maaf itu tumbuh seperti sejuta telaga kasih milik Ibu.

Awan putih menyembul di balik kaca, bararak meniupkan simponi syahdu. Seolah aku sedang duduk di antaranya, membaca tanpa gerak bibir, bahasa yang santun dan dewasa, mengantarku dalam kedalaman rasa tiada tara. Ibu memejamkan mata di seat sebelah, tenang dan damai. Oh Ibu, akhirnya penantianmu usai sudah. Lihatlah Bu, lihat awan itu. Ia akan mengantar kita ke suatu tempat yang paling Ibu dambakan. Kuusap lembut jemari kisut dan kasar itu. Ibu… Lelah guratan hidupmu, membayang pada raut wajah itu, tapi tak bisa mengurangi keagungan cinta milikmu. Kukecup lembut dan kubawa tangan itu ke atas dada. Di bandara tadi, harta-hartamu mengantar kepergian kita dengan haru : Dokter Sutini, Dokter Sulastri, Insinyur Partinah, dan calon guru kita Sundari, juga suami-suami mereka dan keponakanku yang lucu-lucu : Hanif, Asfa, dan Abdus.

Tawamu jernih dan tulus ketika mencium mereka satu per satu, mutiara hidupmu. Wajah damaimu Ibu, adalah bentuk kepasrahan seorang hamba dalam menjalani garis hidup Sang Pencipta, tanpa keluh dan putus asa. Kepasrahan dalam ketegaran yang senantiasa yakin akan pertolongan Khaliknya. Kurasakan burung besi ini semakin meninggi, memecah udara, diiringi senyum hangat pramugari-pramugari anggun berbaju muslimah yang menawarkan makanan. Kuambilkan satu untukmu, Ibu…

Garuda pun membelah angkasa menuju Bandara King Abdul Aziz, Jeddah. Semakin jauh meninggalkan Jakarta, meninggalkan Kediri. Dan satu harapan lagi, dengan izin-Mu akan terwujudkan. Allah Maha Besar! [Annida No.12 Th.XI]


Beranda @ KotaSantri.com




KotaSantri.com
http://kotasantri.com

Minggu, April 20, 2008

Aduh, napa ya blog saya?

Something wrong?? Kok gak bisa dibuka?

Kamis, Maret 27, 2008

Artikel Saya Yang Dimuat di Koran Tempo



Alhamdulillah, dimuat di Koran Tempo, Rabu, 12 Maret 2008

Harga Minyak dan Kebijakan Sektor Hulu Migas

Edy Hafidl*

Harga minyak mentah dunia kembali mencatat rekor baru, yakni mencapai US$103,05 per barel pada perdagangan komoditas akhir pekan, sebuah pencapaian harga yang tak pernah terjadi dalam sejarah perdagangan minyak dunia. Dampak negatif lonjakan harga minyak—yang telah terjadi sejak paruh kedua 2007—telah banyak diulas, telah nampak di depan mata, bahkan telah dialami oleh sebagian besar anak negeri. Dahulu, jika harga minyak dunia naik, maka negara akan mendapatkan `rezeki nomplok`, yakni apa yang dinamakan dengan windfall profit. Namun, kini, alih-alih mendapatkan rezeki nomplok, lifting (asumsi tingkat produksi) minyak di APBN 2008 justru diturunkan, sementara ironisnya, pajak barang impor untuk kegiatan minyak dan gas bumi (migas) justru diturunkan hingga nol persen.

Apa yang salah dalam kebijakan pengelolaan minyak dan gas bumi di negeri ini? Harga minyak dunia naik, mengapa windfall profit tak bisa diraih oleh negara kita? Disadari atau tidak, secara ekonomi-politik, sebenarnya kebijakan tentang pengelolaan minyak dan gas bumi suatu negara, adalah cermin dari karakter kepemimpinan sebuah negara. Sejarah membuktikan bahwa karakter kepemimpinan kepala negara, akan memiliki implikasi langsung ataupun tidak langsung, terhadap implementasi kebijakan di sektor minyak dan gas bumi. Tengoklah kepemimpinan Fidel Castro yang non-kompromis—untuk tidak dikatakan otoriter— yang dengan tanpa kompromi menasionalisasi perusahaan-perusahaan migas asing. Namun, selayaknya, terlepas apapun karakter kepemimpinan negara, kebijakan tak lain haruslah ditujukan bagi kepentingan negara: untuk pencapaian kemakmuran rakyatnya.

Entahlah mazhab ekonomi energi mana yang dianut negeri ini. Sejumlah hal yang terjadi di negeri ini berkaitan dengan kebijakan di sektor minyak dan gas bumi sejak paruh kedua 2007 hingga hari ini, sangatlah menggelikan, plin-plan, tidak jelas. Biarlah masyarakat yang akan menilai, apakah ada kaitan antara kebijakan di sektor energi minyak dan gas bumi ini, dengan karakter pemimpin negeri ini.

Simaklah secara kronologis, apa yang terjadi sejak 16 Agustus 2007. Ketika itu, pada Pidato Kenegaraan dan Keterangan Pemerintah atas RAPBN 2008, presiden mengumumkan asumsi harga minyak di APBN 2008 sebesar US$60 per barel, dengan lifting minyak dalam RAPBN 2008 sebanyak 1,034 juta barel per hari (bph). Untuk diketahui khalayak bahwa urgensi peghitungan asumsi harga minyak dunia dan lifting minyak di APBN adalah untuk mengetahui seberapa besar pendapatan negara dari sektor minyak dan gas bumi. Jadi, rumus untuk asumsi pendapatan negara dari migas di APBN adalah: asumsi harga minyak dunia, dikalikan asumsi lifting minyak, dikalikan hari produksi di tahun takwim, maka didapatkankanlah pendapatan negara dari sektor migas.

Namun, melihat kecenderungan harga minyak dunia yang merangkak naik, ditambah lagi dengan pesimisme tentang kemampuan pemerintah/Pertamina dan kontraktor production sharing (KPS) migas atau kontraktor bagi hasil (KBH) dalam pencapaian peningkatan produksi, maka, tepat satu bulan setelah itu, yakni 17 September, setelah melakukan rapat kerja dengan DPR, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral merevisi lifting minyak 2008, menjadi hanya maksimal 1 juta bph.

Khalayak terpaksa harus menerima penjelasan tentang alasan `penyesuaian` lifting itu dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yakni pertama, produksi minyak terbesar baru bisa dicapai pada semester kedua 2008. Beberapa lapangan minyak yang akan memproduksi minyak skala besar pada paruh kedua 2008 antara lain adalah Cepu (dikelola oleh Mobil Cepu Ltd) dan Duri (dikelola oleh Chevron Texaco Indonesia d/h Caltex Pacific Indonesia). Lalu alasan kedua, pemerintah sedang mengkaji untuk menerapkan pola produksi minyak berkelanjutan, yakni produksi dipatok pada angka bph tertentu, sehingga cadangan minyak tidak akan cepat habis.

Pola produksi minyak berkelanjutan ini pada prinsipnya adalah menerapkan keseimbangan antara cadangan minyak dan produksinya. Namun, penulis mengingatkan bahwa secara tipikal sumur minyak di Indonesia berbeda dengan di Arab Saudi dimana sebuah sumur memiliki cadangan yang sangat besar. Sumur minyak di Indonesia, yang umumnya sumur-sumur kecil, tentu tidak akan efisien jika tidak `digenjot` produksinya sejak produkdi dimulai. Muncul pertanyaan kemudian, layakkah jika pola produksi minyak berkelanjutan ini diimplementasikan di Indonesia?

Ke-tidakkonsisten-an kebijakan pemerintah, kembali terjadi ketika baru dua pekan lalu, yakni pada 15 Februari 2008, pemerintah kembali mengumumkan, bahwa asumsi harga minyak `disesuaikan` lagi menjadi US$83 per barel, dan lifting minyak kembali direvisi menjadi hanya 910 ribu bph. Khalayak yang awam akan perhitungan pendapatan dan belanja negara saja bisa menyimpulkan bahwa kebijakan di sektor minyak dan bumi di negeri ini sangatlah rapuh (volatile), plin-plan dan cenderung bersifat trial and error.

Kebijakan revisi terakhir ini menjadi semakin lucu, dan tidak `nyambung` dengan kebijakan pemerintah yang dikeluarkan satu bulan sebelumnya, yakni pada pertengahan Januari 2008. Ketika itu pemerintah memberikan insentif bagi pengusaha di sektor migas berupa penurunan pajak impor hingga nol persen, alias pembebasan pajak bagi barang-barang impor yang diperuntukkan bagi industri migas. Insentif fiskal ini, apa lah tujuannya, kalau bukan memacu Pertamina dan para KPS/KBH untuk `menggenjot` produksi, untuk mencapai target lifting minyak hingga 1 juta bph sebagaimana dipatok pemerintah semula?

Tapi biarlah, toh kebijakan pemerintah yang orang Jawa bilang `isuk dele, sore tempe` itu telah terjadi. Hari-hari ini, harga minyak telah mulai merangkak jauh di atas angka psikologis US$100 per barel. Analis bursa komoditas internasional bahkan memprediksi bahwa tingginya harga minyak ini bakal berlangsung lama. Berbicara dampak, jangankan bagi industri besar, lha wong industri tempe saja, yang notabene kedelainya sebagai bahan baku ternyata memiliki komponen impor, karena produksi kedelai dalam negeri tak mencukupi, pun terkena dampak. Dapat dibayangkan betapa parahnya negeri ini, mengingat komoditas remeh semacam tempe pun, tidak terlepas penghitungannya pada denominasi dolar. Lalu, muncul pertanyaan kemudian adalah, ke depan, apa yang harus dilakukan? Jawabnya, ada beberapa hal yang dapat dilakukan. Namun izinkan penulis hanya mempersempit hanya dalam kebijakan di sektor hulu pengelolaan minyak dan gas bumi.

Beberapa hal yang layak dilakukan dalam kebijakan sektor hulu migas, adalah pertama, memacu produksi migas nasional. Sejumlah kendala (barrier) dalam hal produksi, sedapat mungkin dieliminasi. Pemerintah selayaknya memfasilitasi pengusaha migas yang saat ini mencoba memanfaatkan kesempatan, ‘aji mumpung’ dengan harga minyak tinggi, untuk menghidupkan kembali sumur-sumur minyak marginal (bercadangan dan berproduksi kecil) maupun sumur-sumur yang mulai kering (depleted well). Insentif fiskal berupa pembebasan pajak impor, bolehlah dilakukan. Dalam hal ini, masih ada waktu untuk kembali merevisi lifting dalam APBN 2008, pada angka di atas 1 juta bph. Sebab angka lifting 910 ribu bph, toh telah dapat dicapai pada 2007. Pemain migas sebagian besar sangatlah yakin bahwa lifting minyak kita masih mampu untuk digenjot di atas 1 juta bph. Dengan dipatoknya lifting minyak pada angka tinggi, maka pemain migas hulu akan termotivasi. Lalu, karena masih ada selisih antara produksi dan subsidi pemerintah yang wajib diberikan kepada rakyat, diharapkan windfall profit masih akan tetap diraih secara signifikan. Tentunya, pada saat yang sama, kampanye tentang penghematan energi masihlah harus terus dilakukan.

Kedua, percepat konversi energi dari minyak tanah ke gas bumi, dengan memperkuat sosialisasi pada tataran masyarakat akar rumput (grass root) yang umumnya dilingkupi tentang ketidakmengertian akan program konversi energi yang dilakukan pemerintah, karena kurangnya sosialisasi. Angka target konversi energi yang juga telah di-revisi dari 2 juta kilo liter, menjadi 1 juta kilo liter, dapat dikembalikan ke target semula, dengan syarat bahwa pemerintah dan Pertamina sudi bekerja keras melakukan sosialisasi.

Ketiga, walaupun ini berat untuk diimplementasikan, ajak perusahaan migas swasta untuk turut `berbagi.` Dalam hal ini, pemerintah berhak memungut pajak bagi KPS atau KBH atas windfall profit yang diterimanya.

Usulan kebijakan di atas, hanya dapat dilaksanakan, dengan niatan kuat pemerintah, dan mau bekerja keras, memiliki visi yang kuat untuk mengangkat harkat dan martabat rakyat. Jika pemerintah terus mengikuti alur emosi yang selalu bimbang, tidak konsisten dalam kebijakan, maka tentu kita tidak akan dapat menikmati berkah dari melambungnya harga minyak dunia ini. Semoga.###

*) Edy Hafidl, adalah pendiri Forum Kajian Energi dan Mineral Indonesia (Forkei) Jakarta. Konsultan independen perusahaan migas asing. CEO MRChemindo Oil and Gas Services. Tulisan ini adalah pendapat pribadi.

Sabtu, Maret 01, 2008

Film "Ayat-ayat cinta" menarik..


Assalaamu'alaikum

Sudah nonton film "Ayat ayat cinta" garapan Hanung Bramantyo? Itu tuh, yang diangkat dari novel yang mendapat anugerah "The Most Favorite Book"2005, Ayat ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy (panggilan akrabnya Abik). Aduh, bagus deh. Terlepas dari segala kritik yang diberikan: tokoh utama Fahri yang terlalu sempurna, lebih seru novelnya dibanding filmnya, etc, etc. Namun, apapun kritiknya, film ini memberikan paradigma baru: bagaimana pacaran secara lebih Islami (wouww?? adakah pacaran Islami?) maksud saya, begitulah adab pacaran di Islam, pertama nadhor (melihat) lalu khitbah (meminang), dan lalu nikah. Itu semua harus ditemani muhrimnya. Mengambil setting di Mesir, film yang digarap dengan biaya miliaran rupiah ini, layak untuk ditonton: paling tidak, memberi warna baru dari film Indonesia kita yang nggak jauh dari hantu-hantuan, seks, seperti XL (extra large) antara aku, pacarku dan Mak Erot (hih.. disgusting banget judulnya). Ada baiknya ditonton. Satu hal lagi: film ini memberi pencerahan bagi suami yang ingin berpoligami: untuk berfikir dua atau tiga kali lagi. Lalu, bagi istri, perlu juga, film ini mengajarkan pada istri: bahwa mencintai amat berbeda dengan keinginan untuk memiliki. Sebagaimana Kahlil Gibran mengatakan: "jarak yang paling jauh adalah jarak antara harapan, dan kenyataan." Wallahu a'lam bishawab. Ada komentar? Komentar bisa juga dikirim via sms: 022-70986637. Bukan sms premium. Kalau sesama fleksi bahkan tak melebihi Rp. 100 per sms. Wassalaam

Jumat, Februari 15, 2008

Dunia ini panggung sandiwara...

Assalaamu'alaikum Wr. Wb.
Dear frens, syukur alhamdulillah, aku mendapatkan sarjana Hubungan Internasional (HI), Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, sekitar 15 tahun lalu. Sempat mengambil pasca di Universitas Indonesia, tentang Kajian Wilayah Timur Tengah (tak sempat selesai): sebuah background keilmuan yang jauh dari sisi teknik/engineering. Namun, sebagaimana kata Ahmad Albar,"dunia ini panggung sandiwara." Genap 10 tahun menjadi jurnalis dan sempat memimpin NGO bernama Forum Kajian Energi dan Mineral Indonesia (Forkei) beberapa saat--saat dimana aku harus menjalin hubungan dengan sejumlah oil companies di Indonesia, dan sempat memberikan aku pengalaman mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) OPEC di Venezuela pada 2000, lalu aku juga sempat melakukan survey lingkungan di beberapa perusahaan minyak di Indonesia, tuntutan hidup kini membuatku harus bekerja sebagai penyelia/supervisor pada proyek revitalisasi limbah cair di perusahaan minyak milik negara Cina yakni China National Overseas Oil Company (CNOOC), yang berlokasi di Pulau Pabelokan, Jakarta. Aku (di foto, aku berada di paling kiri), tak pernah membayangkan akan bekerja di sebuah dunia seperti demikian. Background ku yang HI itu, membuatku harus menjadi fast-learner dalam bidang kimia teknik dan lingkungan. Sekali lagi, alhamdulillah aku bisa. Dunia, memang panggung sandiwara ya frens.. Seringkali, tuntutan hidup (dan entah untuk yang keberapa kali aku bersyukur, background-ku yang HI, mendorongku menjadi fast learner untuk bidang ini, bidang teknik). Aku ucapkan selamat buat alumni HI, yang mencoba untuk menjalani hidup "out of the box," yakni tidak hanya melulu menjadi diplomat, namun, ada yang bekerja di perusahaan properti, telekomunikasi (Indosat), Sucofindo, etc., etc. Selamat, buat kalian semua. Namun, aku juga tidak mengecilkan arti para diplomat lulusan HI loh (buat Candra, Lanang Seputro, Iwan Freddy HS, Renata Siagian, Penny DH) dan para diplomat semua, proficiat juga buat kalian.. Hitung-hitung, kita berbagi tugas dan peran untuk negeri tercinta yang kini bak mati suri.. Ingat, Dewi "Dee" Lestari, juga bukan orang elektro, namun mampu menulis supernova, novel yang scientific itu. Andrea Herata, itu orang ekonomi, namun novelnya "Laskar Pelangi" sangatlah fantastis, dan dia tidak pernah menulis di media massa sebelumnya, namun dia 'garap' Laskar Pelangi hanya dalam waktu 3 (tiga) pekan lamanya... Wallahu a'lam bishawab.. Ada komentar?

With family in Situgunung


Kamis, Februari 14, 2008

Hidup seringkali tidak seperti yang dibayangkan...

Seringkali, hidup memang tidak seperti yang dibayangkan. Banyak bahkan, bayangan-bayangan kita tentang apa yang bakal akan kita jalani dalam kehidupan, ternyata tidak terjadi. "Dan kamu tidak akan tahu apa yang kamu upayakan esok, dan kamu pun tidak akan tahu di tanah mana kamu akan mati.." Demikian Qur'an Surat 31 ayat terakhir.